Jumat, 04 Januari 2013

HIMusiklopedia 2012


IIIHIMusiklopedia2012
Industri vs apresiasi musik


Dulu ukuran kesuksesan seorang musisi bukan sebatas dihitung dari berapa kali dia tampil di televisi atau berapa sering lagunya diputar oleh banyak stasiun radio, namun sederhana sekali standarnya, yakni : berapa juta copy rekaman kaset/cd album yang terjual. Ketika media bajakan seolah tak bisa diberangus penyebarannya, sumber penghasilan industri musik kemudian beralih ke RBT maupun konser keliling ke berbagai kota. File musik yang bertebaran di banyak situs peer-to-peer di satu sisi memang menjadi media promosi ( ada seloroh bahwa kalau ada lagu yang belum “dibajak”, artinya lagu tersebut dianggap gagal mengangkat popularitas artisnya, halah... ), namun di sisi lain hal tersebut tidak mendidik publik untuk menghargai karya musik yang telah dibuat dengan susah payah.

Ketika penjualan lagu singel yang dijual lewat media online masih belum digandrungi, cara yang ditempuh banyak label mupun artis belakangan ini adalah dengan memanfaatkan jalur distribusi retail, seperti di jaringan restoran cepat saji maupun minimarket. Toko kaset ? Hhhmmm... paling sebatas mencari memorabilia atau memang pemburu koleksi merchandise si artis. Dulu ada kebanggaan kalau bisa mengumpulkan cover album kaset, sekarang ?

Semenjak RBT, nada sambung, nada dering, atau apalah namanya mendapat stempel buruk sebagai salahsatu sarana “penyedot” pulsa handphone, kabarnya untuk tahun 2013 fitur VAS ( value added service ) ini akan digenjot lagi dengan penyempurnaan aturan main yang tidak merugikan kenyamanan pengguna selular.

Jadi teringat suatu topik perdebatan tentang apakah lagu2 yang masuk daftar RBT terlaris bisa dianggap sebagai sampel yang menggambarkan selera musik masyarakat ? Atau bisakah polling yang digelar stasiun tv dalam acara award2 musik itu menjadi cermin bahwa corak musik itulah yang menjadi favorit kebanyakan orang ? Terlalu naif bila industri musik tidak memikirkan faktor komersial, namun tantangannya adalah bagaimana menyelaraskannya dengan idealisme sang musisi itu sendiri.


Label rekaman


Major label vs indie label. Benturan kedua pihak ini sungguh menjadi issue fenomenal yang mewarnai industri musik tanah air di era 90an, baik itu dipandang dari segi jangkauan distribusi maupun adu kapital. Sempat ada stigma negatif bahwa rata2 major label cuma berani bermain dalam tataran “mainstream” yang ditafsirkan sebagai “pelayan” pasar musik, sedangkan musisi yang bermain di indie label dianggap lebih prestisius karena kesannya masih idealis dan secara komunitas lebih eksklusif ( baca : tidak pasaran ).

Kini polemik mengenai ukuran gengsi artis indie masuk major label tidak begitu kencang lagi bergaung. Namun sebaliknya, bila ada musisi yang berani hengkang dari major label yang selama ini menaunginya, nach rasanya pantas bila dibuatkan catatan tersendiri. Ada beberapa alasan yang mirip dengan dalih pegawai berhenti bekerja di suatu perusahaan, mulai dari : ingin merintis usaha sendiri, karir mentok, atau merasa “dianaktirikan” karena harus berebut perhatian dengan artis lain.

Memasuki era digital yang tak bisa dihindari lagi, kerjasama label dengan berbagai pihak secara global tak bisa dipungkiri bisa menjadi jembatan guna menjangkau pasar yang lebih luas. Semisal dengan situs YouTube sebagai media promo (premiere) videoklip, via jaringan Google+ guna menghimpun fanbase yang loyal, sampai lewat jualan singel di iTunes. Label kini “dipaksa” survive dengan memanfaatkan channel pemasaran apapun yang bisa digarap.

Kiranya label lokal mesti bisa bersinergi dengan banyak promotor konser yang belakangan ini tengah menjamur mendatangkan artis mancanegara. Kesuksesan konser Noah yang berhasil mendatangkan massa penonton yang berani membayar mahal untuk menyaksikan penampilan musisi kesayangannya tersebut bisa menjadi pelajaran kemana label rekaman harus mengambil peran. 


IIIHIMpersada2012 Top40 of the year - 1st singels
TV, radio, online


Di awal tahun 2013, bakal ada duel program kontes bakat/musik yang sudah lebih dulu populer di program tv luar negeri, yakni The X-Factor Indonesia ( bakal tayang di RCTI ) versus The Voice Indonesia ( segera launching di Indosiar ). Dari beberapa pengalaman terakhir, anehnya para pemenang dan alumnus jebolan acara beginian justru tidak mujur saat bertarung di medan sesungguhnya. Sementara beberapa artis baru yang diorbitkan sebagian label justru bisa melesat tanpa pakai acara menggeber polling sms segala. Maka pesan penulis, sudahilah kontes2 via televisi yang memakai format voting dari penonton.

Sementara di industri radio khususnya seputaran Jakarta, terpaksa penulis harus bilang : membosankan ! Maaf, setidaknya begitulah kesan personal penulis yang dalam beberapa tahun belakangan ini berusaha menikmati sebagian besar siaran stasiun radio2 ibukota. Sudah lagu2 gresnya telat beredar dibanding airplay kebanyakan radio daerah, frekuensi rotasi playlist dengan lagu sama yang kelewat sering diputar membuat tembang menjadi cepat basi di telinga. Mau menyalahkan MD-nya, sepertinya terlalu menyederhanakan masalah karena pasti tersangkut dengan dalih : segmentasi dan karakteristik pendengar radio Jakarta tidak sehomogen pendengar radio daerah.

Seperti yang pernah dibahas dalam edisi tahun lalu, beruntunglah berbagai aplikasi radio streaming kini bisa diakses via smartphone maupun tablet yang tentunya tidak terlalu menguras kuota internet ketimbang dipakai untuk streaming video. Terlebih makin banyak area hotspot yang menyediakan free-wifi, jadi sambil baca berita online sekalian dengerin radio favorit tanpa batas kekuatan pemancar stasiun radionya, paling mentok yach mesti siap dengan perangkat powerbank buat ketahanan baterenya dan kadang2 ngedumel juga kalo pas ada buffering, he3...

Khusus tahun 2012 ini, pilkada DKI Jakarta menghasilkan berbagai fenomena unik, diantaranya memakai parodi lagu sebagai jingle kampanye. Beberapa musisi ibukota juga sempat “ditarik” sebagai model iklannya, meski yach baru sebatas vote-getter. Kemunculan Rhoma Irama bisa jadi perkecualian, karena meski dianggap bukan “anggota tim sukses”, tetapi pengaruh pentolan grup Soneta ini lumayan dominan. Sayangnya itu bukan karena pencapaian karya musik, namun ucapan2 kontroversialnya. Btw, apa kabar dangdut yach ? 


K-Pop Invasion


Bila di tahun 2011, serbuan K-Pop hanya sebatas di radio tertentu maupun tayangan di saluran tv berbayar, lha sejak kwartal kedua tahun 2012 gelombang musisi K-Pop begitu rajin menyambangi Jakarta untuk mengadakan konser. Masih ingat konser SuJu alias Super Junior yang digelar 3 hari berturut-turut di Ancol ? Atau pentas megah SM Town di Gelora Bung Karno yang diselenggarakan tepat 2 hari setelah pemilukada DKI Jakarta ? Belum lagi ada boyband/girlband papan atas dari Korea Selatan ini yang juga tak kalah heboh, ada : BigBang, Wonder Girls, sampai 2PM. Yang belum datang tahun ini ke Jakarta, yach siapa lagi kalau bukan sang “Gangnam style” : PSY !

Tak jemu dikutip, bahwa resep sukses K-Pop merambah musik internasional adalah dukungan kuat dari pihak pemerintah dan kerja keras industri kreatifnya. Dikemas secara komersial dengan metode pemasaran yang menjangkau banyak negara, tak heran “virus” budaya mereka pun tak pelak merengkuh kultur kita, diantaranya dengan bermunculannya judul2 lagu bernuasa Korea ( saranghae, saranghamnida ) dan film dengan mengambil setting lokasi di negeri ginseng tersebut.

Bila anda pelanggan tv berbayar, simak saja berapa jumlah kanal yang khusus menayangkan program berbau Korea Selatan ? Sekedar menyebut contoh, ada KBS, Arirang, S-One, dan Channel M. Saluran Fox International seperti StarWorld dan channel [V] juga tak ketinggalan beberapa kali menyelipkan acara yang mengintroduksi gelombang hallyu ini. Bahkan media musik bonafid sekelas Billboard pun tak sungkan “bersusah payah” untuk membuatkan chart K-Pop. Wah !

Yang menarik untuk dipelajari dari kesuksesan K-Pop ini adalah profesionalitas tim manajemen artisnya. Mungkin disini mereka mematahkan asumsi banyak orang bahwa kesuksesan itu bukan dilahirkan ( secara instan ), tapi diciptakan. Lihat saja acara pencarian bakat semacam K-Pop StarHunt ( atau Galaxy SuperStar yang pernah tayang di Indosiar ) yang digelar lintas negara. Ketika para kandidat terpilih berhasil didapatkan, tidak seenaknya langsung segera diorbitkan, namun ditempa dulu skill dan attitude-nya selama berbulan-bulan. Lha disini, baru jadi penyanyi one hit wonder saja wuih kadang udah merasa jumawa dan lupa diri. 


The Concerts


Kalau ada ungkapan : dangdut is the music of my country, maka untuk pembuka segmen artikel ini penulis plesetkan menjadi : Jakarta is the centre of music concerts. Yup, kalau dulu warga Indonesia sering cemburu karena banyak musisi kelas dunia yang ogah menyinggahi nusantara ini dengan alasan “travel warning”, lha sekarang justru kebalikannya. Warga negara tetangga yang “terpaksa” berbondong-bondong datang ke Jakarta buat bisa nonton konser musisi kelas dunia favoritnya. Penasaran juga apakah potensi turis wisata musik ini sudah digarap dengan baik, misalnya dengan menyediakan paket lanjutan wisata kuliner atau wisata budaya.

Sayangnya, momentum yang baik tersebut sempat tercoreng ketika konser Lady Gaga akhirnya batal digelar karena suasana yang dianggap tidak kondusif. Ironisnya justru dari pihak aparat sendiri yang seolah tidak berani menjamin keamanan, sebuah sinyal buruk tentunya meski itu hanya sesaat. Yang juga menarik : entah karena bosan atau terlalu sering tampil di Jakarta, konser musisi internasional di tahun 2012 ini pun mulai menyebar ke daerah di luar ibukota. Yang cukup menarik adalah konser Sepultura yang berlangsung di Kalimantan Timur dan bisa ditonton gratis. Wow !

Untuk urusan konser musisi luar negeri, dulu mungkin pemainnya hanya seputar Java Musikindo-nya mas Adrie Subono dan Java Festival Production-nya om Peter F Gontha, pokoke masih bisa dihitung jarilah. Beberapa tahun belakangan ini, kondisinya mulai mirip para pengelola stasiun tv berebut hak siar tayangan kompetisi bola luar negeri. Dengan jumlah EO yang relatif banyak, tak pelak persaingan dalam mendapatkan artis pun kian ketat yang ujung-ujungnya berimbas pada nilai kontrak yang mahal dan harga tiket yang sebetulnya tidak rasional lagi ( contohnya : ada harga tiket yang setara atau bahkan lebih mahal dibanding harga beli motor !!! ).

Oh, ya satu lagi. Yang juga masih menjadi keprihatinan para insan musik tanah air, khususnya di Jakarta : kapan yach kita punya gedung pertunjukan khusus musik kelas dunia ? Jadi yang dipakai buat konser, bukan yang tempat peruntukan utamanya sebagai lokasi pameran, convention hall, atau stadion olahraga.


IIIHIMbuzz2012 Top25 of the year - 2nd/3rd singels
The singer, not the song


Mungkin ini terkesan sinis, tetapi pemberian gelar bagi beberapa musisi sebagai penyanyi terfavorit di beberapa ajang award televisi yang penulis lihat belakangan ini bisa jadi jatuhnya kepada unsur popularitas ketimbang pencapaian prestasi karyanya. Penghargaan bersifat “jebakan” ini mungkin bukan salah sang artis, tetapi bila gejala ini kian berlangsung, jangan2 yang ada sebatas good looking di pentas layar kaca ( imbasnya pada rating ) dan bukan good voice !

Sebagai contoh kasus, segitiga Syahrini – Anang – Ashanty misalnya, secara karya bisa dibilang tidak ada yang menonjol dari mereka di tahun 2012 ini, tetapi lihatlah mengapa Anang tetap dipertahankan sebagai juri “Indonesian Idol” dan Syahrini didaulat sebagai salahsatu komentator dalam program “Indonesia Mencari Bakat” TransTV.

Ada pula Ahmad Dhani yang cukup memberi kesegaran pada Indonesian Idol tahun 2012 ini lewat celetukan uniknya dalam menanggapi performance kontestan yang kerap disambar oleh tweeps sebagai trending topics di jagat maya.

Menarik pula mencermati beberapa produser televisi yang menggaet para artis ( lagi2 pertimbangan utamanya pasti karena rating dan punya fanbase yang dianggap kuat ) untuk tampil yang kadang bukan untuk urusan nyanyi, tapi program realityshow maupun sinetron. Sekedar menyebut contoh : SM*SH, CherryBelle, Coboy Junior, dan Al El Dul yang seolah punya spesial slot “gratis” buat para penggemarnya di layar kaca.

Yang lumayan menggairahkan di tahun 2012 ini adalah kembalinya Ariel Peterpan, eh Ariel Noah ke kancah blantika musik tanah air. Mungkin mayoritas dari kita nggak peduli apa penyebab dia dipenjara, pokoke para fans sudah nggak sabar menantikan gebrakan bareng teman2-nya guna “menumbangkan” gelombang boyband/girlband yang dalam 2 tahun belakangan ini terkesan mendominasi ( atau membuat jenuh ? ) pasar musik nasional.


The song, not the singer


Kalau dalam pemasaran properti berlaku rumus : lokasi, lokasi, lokasi; maka untuk jurus pemasaran bagi musisi tak lain tak bukan adalah : materi, materi, materi. Kalau tahun lalu ada Budi Doremi yang bisa mencuri atensi penikmat musik, tahun 2012 ini ada 2 lagu galau yang penulis rasa berhasil menerapkan strategi “desa mengepung kota”, maksudnya adalah kedua lagu ini justru lebih dulu sukses di berbagai airplay radio daerah, sebelum akhirnya masuk dalam playlist radio2 ibukota. Cukup mengherankan memang, tapi seperti yang sering penulis singgung dalam artikel HIMusiklopedia edisi tahun2 sebelumnya : ada yang “salah” dengan karakteristik pendengar Jakarta ( simak ulasannya nanti di episode 3  yang terbit 2 pekan lagi ).

Siapa yang kenal “Rumor” ? Kalau disebut judul lagu yang dibawakannya, mungkin orang baru ngeh, yup siapa tak kenal lagu “Butiran debu” yang dalam waktu kurang dari setahun di-recycle oleh Terry. Sayang, entah karena efek branding nama musisinya, justru akhir2 ini soal hak cipta lagu tersebut tengah bermasalah.

Mendekati akhir semester kedua tahun 2012, giliran tembang “Harus terpisah” yang merajalela di angkasa ibukota. Seiring ngehitsnya lagu ini, tak pelak mengundang banyak orang untuk tahu seperti apa sich profil penyanyinya, yakni Cakra Khan, eits ini nggak ada hubungannya dengan Chaka Khan yang penyanyi barat sono loch.

Ketika sebuah tembang melesat popularitasnya, seberapa banyak dari kita yang peduli untuk mencari tahu siapa sosok pencipta lagunya ? Berbeda dengan era 70-80an dimana pencipta lagu begitu dihormati karena dari merekalah lahir lagu2 evergreen lewat suara penyanyi yang mereka “tunjuk” sendiri, namun ketika masuk akhir era 90an hingga milenium ini justru terbalik. Rata2 penyanyi sekarang ini maunya instan, kalau mau produksi lagu untuk dirilis bisa rikues ala fastfood ke pencipta lagu, jadi yach sori hasilnya adalah banyak lagu kacangan ( kalau disebut “sampah”, ntar ada yang ngambek, he3... ) yang cepat membosankan di telinga. Pencipta lagu yang dulunya bak seorang chef restoran, kini seolah turun derajat menjadi tukang masak catering yang bekerja sesuai menu konsumen. Haduh.

Sudah terlalu sering program talentshow untuk pencarian bibit penyanyi, baik via layar kaca maupun label rekaman. Saatnya ada kompetisi sekelas LCLR Prambors gitu, ada media yang berminat mengadakannya di tahun 2013 nanti ?


IIIHIMusiklopedia2005-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar