Sabtu, 31 Desember 2011

HIMusiklopedia2011 : gaduh, galau, dan gamang

IIIHIMusiklopedia2011
HIMblog! : http://himfiles.blogspot.com ( supported by : @IdBlogNetwork )
Gaduh, galau, dan gamang


Trend

Tak bisa diragukan lagi, inilah tahunnya para boyband dan girlband merangsek ke blantika musik tanah air. Ditengah gejala kebosanan pendengar dengan suguhan band2 beraliran pop melayu, mereka menciptakan trend pasar baru yang lebih membidik generasi ABG yang sepertinya berbeda karakternya dengan kultur anak alay yang kita kenal. Mendadak sebagian besar kalangan remaja merasakan demam K-Pop rasa lokal. Konsep personel yang rata2 berwajah Asia oriental seakan sudah tak asing lagi dijumpai lewat layar kaca.

Yang cukup unik, boyband lokal zaman sekarang justru tidak berkiblat ke musisi negara barat, tapi malah condong ke Korea, loch ? Sebelum kembali ke topik negeri ginseng ini, penulis jadi teringat saat demam F4 di awal tahun 2000an melanda para kawula muda negeri ini, tak serta merta mendorong praktisi musik tanah air membuat proyek boyband, efeknya baru sebatas bikin heboh yang salahsatunya karena ada sinetron yang “mirip” serial Meteor Garden tersebut. Yang justru happening saat itu adalah duel acara kontes nyanyi : Indonesian Idol vs Akademi Fantasi Indosiar. Praktis, pamor boyband tertutup oleh gemerlap betapa menjadi penyanyi singel idola lebih menarik ketimbang perform ramai2.

Sekali lagi, mengapa patronnya negeri yang justru jarang kita dengar lagunya di stasiun radio ataupun program tv lokal ? Dibandingkan musik Mandarin atau lagu Jepang yang kerap jadi rujukan karena film2-nya sering bisa kita lihat di layar kaca, di negeri ini K-Pop perlahan merasuk lewat serial drama televisi yang menghanyutkan. Dari situ orang lalu tertarik untuk mempelajari kultur pop mereka, dan yang paling mudah tentu saja melalui bahasa universal : musik.

Lalu dengan nada prihatin, simaklah program seri drama kita, disanakah wajah orang Indonesia yang kita kenal ? Lagu tema sinetron pun sebatas tempelen, tidak lagi digarap serius seperti pemusik menggarap soundtrack film layar lebar. Apakah cuma itu saja, tentu tidak. Mereka pun tergolong sukses membangun jaringan hingga keluar negeri, sampai2 penyedia tanggalagu internasional seperti Billboard saja sampai berani membuatkan chart khusus K-Pop ini.

Dengan sedemikian besar magnitude-nya, kita bisa membayangkan betapa profesionalnya mereka menggarap musik sebagai sumber daya ekspor budaya ? Buktinya, tak pernah terbayangkan kalau artis2 Korea menggelar konser disini ( tentunya memperhitungkan komunitas fans yang ada ), padahal biasanya promotor musik khan umumnya mendatangkan artis2 jebolan negeri paman Sam yang dipandang lebih menguntungkan.

           
Fenomena

            Adalah SM*SH yang mencuri perhatian di awal tahun ini. Dengan kutipan lirik “cekat cekot” dan “you know me so well”, histeria itu tersebar dengan cepatnya. Apalagi dengan semakin mudahnya orang mengakses YouTube, popularitas mereka ibaratnya langsung menjadi “trending topic” yang membuat para label mapan maupun baru berdiri seolah “teracuni” untuk membuat boyband tandingan. Yach, mirip2 program tv, kalo ada acara yang rating-nya tinggi saja, beberapa pekan kemudian muncul acara yang serupa tapi tak sama di stasiun tv lainnya. Good looking dan jago nge-dance itu syarat mutlak, tapi kalau soal mutu vokal para personelnya ?

            Di pertengahan tahun 2011, muncul sosok penantang baru bernama : girlband ! Berbeda dengan SM*SH yang seolah tanpa kompetitor terdekat, untuk yang satu ini tersebutlah “rivalitas” 7 Icons versus Cherry Belle. Btw, sepertinya kita selama ini salah kaprah dengan istilah “boyband” dan “girlband”, emang mereka nge-band ?

            Kegaduhan industri musik tanah air tidak hanya seputar “grup vokal”, tapi juga munculnya para pendatang baru yang telah melewati proses audisi di YouTube. Ada yang memang kualitas suaranya memang sesuai pakem bisnis musik itu sendiri, seperti : Raisa dan Gamal; ada yang justru tak sengaja malah jadi “tersasar” menjadi pujaan masyarakat meski itu hanya sesaat, contohnya : Briptu Norman dan ( masih ingat ? ) Udin sedunia, he3...

            Jelang akhir tahun 2011, penikmat musik tanah air kedatangan penyanyi muda bernama Ayu Ting Ting. Lewat lagu “Alamat palsu”, dara berwajah manis ini cukup memberikan optimisme bahwa kondisi musik dangdut yang dianggap mati suri tokh nyatanya masih eksis, he3... Dan pula stereotipe bahwa tembang dangdut sekarang lumayan mirip dengan situasi film2 nasional tahun 90an yang nyerempet2 ke tema2 “panas” agar tetap survive, tokh bisa terpatahkan dengan lagu sederhana.

Kalau dulu ada plesetan lagu Armada : mau dibawa kemana musik Indonesia ( yang untuk tahun 2011 ini ternyata dibawa dari pop melayu ke boyband style ), maka untuk tahun depan pertanyaannya adalah plesetan dari lagu mbak Ayu ini : kemana kemana kemana ku harus mencari musik Indonesia ( yang lebih variatif, berkualitas dan bisa menjadi “komoditas” ekspor ) ?


TV musik

Apakah itu program musik di televisi belakangan ini ? Ajang penghargaan untuk karya para musisi, tempat promosi lagu baru maupun yang lagi nge-hits, atau selingan gosip kehidupan para presenternya ? Entah kenapa ada kecenderungan bahwa produser musik di televisi swasta kebanyakan mengambil dari kalangan MC yang bisa ngocol, apakah kalau pembawa acara musiknya dari kalangan yang lebih ngerti musik justru ratingnya rendah ?

Belum lagi penampakan kalangan allay yang memberi suasana acara musik pagi menjadi lebih meriah, gaya mereka tuch beneran apresiatif atau sebatas berlaku sebagai figuran yach ? Dan lagi, bukannya itu jam seharusnya mereka berada di sekolah ? Hush, nggak boleh “sirik” gitu. Justru dari sistem “joki” penonton seperti itu, katanya sich pendapatan mereka ( apalagi koordinatornya ) lumayanlah, dah bisa nonton gratis, masuk tv, ketemu artis, dibayar pula, he3...

            Kalau konser musik outdoor ( seperti di area parkir mal atau pusat perbelanjaan ) yang digelar stasiun tv pastinya bisa disaksikan secara gratis. Kalau yang pakai acara bayar ? Kadangkala ada berita tv yang meliput tur konser musik grupband di kota tertentu berlangsung ricuh. Biasanya alasan yang dipakai adalah ada sebagian pemirsa yang enggan beli karcis, tapi ngotot pengen nonton band pujaannya. Emosi memuncak karena merasa tersisihkan dari pergaulan, jadi dech bikin keributan. Waduh.

Untuk special event seperti acara ulang tahun stasiun tv yang bersangkutan, ada kecenderungan format konser band dibuat seperti bagian dari opera musikal. Personel band ( yang rata2 dia lagi dia lagi ) diberi kostum panggung dan didandani aksesoris sesuai tema, jadi kelihatan “maksa” gitulah, padahal jalan ceritanya kemana lagunya dimana, halah.
            Setelah rehat setahun, Indonesian Idol akan kembali lagi menyapa pemirsa tv mulai tahun depan. Bila cara polling sms sebanyak-banyaknya lagi yang dipakai sebagai acuan utama, maaf kalau pertanyaan seperti ini akan berulang : ini niatnya bikin acara kontes nyanyi atau acara operator selular bisa potong pulsa pelanggannya dengan mudah ?


Off-air

Jakarta kebanjiran konser artis musik mancanegara selama tahun 2011, dari Justin Biebers sampai julio Iglesias. Bahkan boleh dibilang, kini kota2 lainnya di Indonesia pun mulai mendapat atensi dari promotor. Misalnya Paramore dan Jason Mraz yang sukses menggelar pertunjukkannya di Bali. Pertanyaannya : apakah kedatangan para musisi kelas internasional ini juga mengundang banyak turis asing untuk bertandang ke tanah air ? Penulis jadi ingat di pertengahan tahun 90an, tepatnya ketika Michael Jackson (alm) menggelar rangkaian tur konsernya di Singapura, mendadak negeri singa itu menjadi “Jakarta kecil” karena seakan penduduk ibukota Indonesia ini untuk sesaat “berdomisili” disana.

Festival musik yang digelar rutin seperti Java Jazz, Java Rockin’Land, dan Java SoulNation sepertinya sudah menjadi agenda familiar bagi penggila musik se-Asia Tenggara, bahkan Australia. Setidaknya beberapa bulan sebelum acaranya digelar pun, orang banyak sudah dibuat penasaran siapa saja artis besar yang bakal manggung ?

Meski demikian, kita prihatin dengan minimnya atensi pemerintah untuk menyediakan pentas yang layak untuk sebuah pertunjukkan musik. Bila untuk ajang olahraga sekelas Sea Games saja sampai dibela-belain bikin stadion megah, masa khan untuk tempat konser kebanyakan yang dipakai itu lokasi yang biasa dipakai untuk pameran maupun seminar ?

Go internasional. Biasanya itu ucapan klise kalau ada presenter yang menanyakan apa obsesi terbesar musisi tanah air kita. Tercatat beberapa artis tanah air kita yang tahun ini sempat mengadakan konser di negara tetangga, seperti Ruth Sahanaya dan Rossa. Juga musisi lokal kita mulai menarik perhatian tokoh musik dunia, seperti Sandhy Sondoro yang tampil di acara spesial Diane Warren dan Agnes Monica yang berduet dengan Michael Bolton. Tak lupa ada Gugun Blues Shelter yang turut mengharumkan nama bangsa di luar negeri. Anggun ? Wah, setelah “berkelana” memperkenalkan Indonesia di pentas musik dunia, dia baru aja tampil tuh di Jakarta, he3...


On-air

            Dengan semakin canggihnya dunia iptek, kendala untuk “go international” sesungguhnya tinggal menjadi soal menunggu waktu saja. Mau audisi secara audio-visual, tinggal minta bantuan om YouTube untuk menjaring viewers. Pengenalan profil dan presentasi demo lagu, tinggal mengunggahnya di situs jejaring sosial. Dan siaran radio yang dulunya hanya sebatas kuatnya sinyal di udara dan batasan wilayah, kini bisa menjangkau pendengar seluruh dunia hampir tanpa batas.

            Bila sebelumnya untuk mendengarkan radio streaming perlu membuka situs resminya terlebih dulu di internet ( atau sekarang dari satu situs saja, bisa memilih hingga ratusan radio – seperti yang bisa pembaca nikmati di situs ini, kini aplikasi streaming sudah bisa didengarkan secara mobile lewat gadget seperti smartphone maupun pc-tablet.

Seperti yang pernah penulis singgung, ada yang aplikasinya dibangun oleh providernya dan ada pula yang “nebeng” aplikasi radio player. Untuk Blackberry, mungkin anda kenal aplikasi NuxRadio. Sementara untuk sistem Android seperti yang penulis gunakan belakangan ini, banyak aplikasi gratis yang bisa diunduh seperti : TuneIn, XiiaLive, dan Pandora Internet Radio. Bisa dibilang, kini kompetisinya bukan lagi dengan radio2 sekota tapi satu negara. Mana radio yang chartnya senantiasa update dengan yang chart radionya lelet akan bisa terlacak, he3...

Selain persaingan soal playlist yang digemari pendengarnya, pengelola radio juga berjibaku dalam memperebutkan kue iklan media yang kian ketat. Di beberapa stasiun radio ibukota yang penulis kupingin, terasa banget bahwa siaran mereka belakangan ini nyaris tanpa jeda pariwara. Enak juga sich jadi bisa nonstop nikmatin lagunya, bahkan kalau perlu announcernya nggak boleh ngomong bertele-tele lebih dari  1-2 menit, he3... Tapi sampai kapan secara operasional dengan pola siaran “kering” pesan komersial tersebut, mereka bisa bertahan ?


Industri vs label

Bermula dari kasus “pencurian” pulsa selular, akhirnya merembet ke soal kemungkinan adanya unsur “pemaksaan” dalam proses reg/unreg berlangganan ring back tone di ponsel. Lalu beramai-ramai musisi yang merasa periuk nasinya bakal merosot drastis bila layanan nada sambung itu dihapus itu mengajukan protes, istilahnya kalau ada oknum industri musik yang bersalah, jangan hasil karyanya donk yang “dibakar”.

Yup, ditengah gegap gempita karena ada beberapa artis yang dimanajemeninya tergolong sukses, entah itu karena jadwal manggungnya selalu padat dan merangkap pula sebagai model bintang iklan untuk berbagai produk yang berlainan, industri musik tanah air kita tengah “berdarah-darah”.

Maraknya pembajakan seperti sudah menjadi penyakit kronis yang tidak jelas kapan usainya. Fitur file sharing / peer to peer di internet pun menyebabkan sebuah karya musik bisa lekas menjadi “emas” atau malah “sampah” dimana materi lagu yang sebenarnya patut dihargai hak ciptanya, sekarang lebih dipakai sebagai “sample” promosi atas eksistensi musisinya. Tak heran, sedikit sekali yang tertarik untuk memunculkan materi dalam format full album, kebanyakan cara mainnya dengan merilis satu singel dalam rentang 3-6 bulan sekali. Lha, kalau melepas semua lagunya ke pasaran, ntar keburu kehabisan “amunisi” donk.

Trik “dagang” semacam membuat gosip grup band dikabarkan retak dan mau bubar mulai banyak dikritisi karena dampaknya negatif secara pencitraan. Atau lihatlah sampai berapa lama melodrama segitiga antara Anang, Ashanti, dan Syahrini terus berlangsung dan apakah itu berpengaruh bagus terhadap respek masyarakat akan lagu2 yang mereka bawakan ? Sesuatu banget yach J


Music goes on

Saat sebuah tembang paling anyar diperdengarkan kepada khalayak, mungkin kita sebagai penikmat musim awam nggak begitu mau tahu asal usul lagunya tersebut diproduksi label rekaman mana. Demikian juga ketika sebuah konser musik yang menghadirkan musisi kelas dunia tampil di Indonesia, khususnya Jakarta, penonton sepertinya nyaris tak peduli siapa promotor yang berhasil mendatangkan mereka.

Mengenai promotor konser, memang ada beberapa “cacat” yang sempat mewarnai industri pertunjukkan kita, diantaranya : pembatalan konser ( masih mending kalau promotornya bertanggungjawab mengembalikan tiket yang sudah terbeli konsumen, lha kalau diulur-ulur atau bahkan digantung refund-nya ? ) dan ketidaksesuaian jumlah tiket dengan kapasitas pertunjukkan ( untuk masalah ini, ingat konser Westlife yang sempat ricuh ? ).

Tapi musik adalah musik. Orang mau bilang genre tertentu sebagai aliran irama sampah, tokh kalau ada sebagian masyarakat kita yang suka terus mau bilang apa ? Di radio, musik berjaya ketimbang acara drama sinetron atau talkshow, he3... Meski yach penulis mesti terus terang bilang, meski namanya industri musik, tapi label rekaman bukan pabrik yang mesti dipaksa terus menerus mensuplai apa yang tengah nge-hits tapi juga menawarkan pilihan yang unik dan ( syukur2 ) berkualitas. Untuk yang satu ini, acung jempol buat Budi Doremi yang berhasil mencuri perhatian dengan notasi lagu yang cukup nyeleneh dan keluar dari arus boyband yang lagi mewabah.


Apa selanjutnya ?

Jual CD kok di restoran fastfood dan minimarket ? Tapi kenyataannya memang inilah siasat beberapa label “mengakali” rendahnya tingkat penjualan produk fisik di toko kaset yang betulan. Di kedua jenis usaha yang penulis sebut diawal, setidaknya profesi kasir tidak lagi sebatas menghitung belanjaan yang dibeli oleh konsumen namun juga merangkap sebagai agen penjualan cd artis. Ada pula yang menjual tembangnya dengan sistem membundling dengan tipe ponsel keluaran terbaru atau malah memasarkannya di pom bensin.    

Bila di luar negeri, ada yang namanya iTunes sebagai penyedia layanan penjualan musik online, maka untuk skala lokal tersebutlah nama LangitMusik. Ditengah kebiasaan masyarakat kita yang senangnya “gratisan”, mengkampanyekan cara mendapatkan lagu dengan legal pasti tidak cukup sekedar slogan “stop piracy”. Lagi2 konsumen mesti diberikan value-added agar lagu legal tidak hanya sebatas kenikmatan untuk didengar namun memiliki nilai memorable.

Ada seloroh begini. Siapa pencipta lagu yang paling dikenal tahun 2011 ini ? Ternyata jawabannya bukan Melly Goeslaw atau Dewiq, tapi pak Susilo Bambang Yudhoyono. Yup, berkat theme song Sea Games yang beliau ciptakan, hasil karyanya mendadak menjadi happening banget, he3...

Sorry to say, tahun 2011 ini terlalu banyak tembang daur ulang yang justru tidak dire-touch dengan baik. Entah ada apa dengan kreatifitas pencipta lagu tahun ini, sehingga label lebih condong melakukan “jalan pintas” artis2 barunya dengan memberikan lagu lawas untuk disajikan kembali, seakan label menjadi pabrik artis pendatang baru dan bukan pencetak karya dengaran yang mumpuni.

Mungkin banyak produser musik yang bertanya-tanya kira2 trend musik di tahun naga air 2012 bakal seperti apa yach ? Masihkah trend boyband bertahan, adakah penerus dangdut yang layak diperhitungkan eksistensinya setelah Ayu Tingting yang bisa tampil ke permukaan, apakah pamor band2 pop melayu bakal tenggelam, atau akankah aliran musik rock/alternatif bakal kembali merangsek pasar ? Kita nantikan juga siapa lagi “selebritis musik” pendatang baru hasil audisi YouTube J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar