IIIHIMusiklopedia2013
Facebook / Line / Twitter / YM : himfiles
HIMailinglist
: himtertainment-subscribe@yahoogroups.com
# Meneropong penyanyi dan/atau musisi pendatang baru
Pencarian talenta menyanyi melalui reality show di layar kaca sepertinya
masih dianggap sebagai cara pintas untuk mendongkrak popularitas generasi baru
talenta olah suara. Dalam kurun waktu 3-4 bulan selama masa karantina dan
eliminasi, sang kontestan dipoles ke hadapan pemirsa agar layak jual. Tentu
saja bumbu dramatisasi dalam menentukan siapa yang melaju ke tahap berikutnya
sepertinya bisa membentuk fanbase yang ikut bertarung mencari pengaruh di dunia
maya.
Adalah kompetisi The X-Factor Indonesia di RCTI vs The Voice Indonesia di
Indosiar yang tadinya diprediksi bakal berlangsung sengit, justru malah
berjalan tak seimbang. Di panggung televisi, ternyata faktor kualitas suara
bisa “ditumbangkan” oleh faktor psikologis emosional dalam mengerek perolehan
sms dan rating. Lihat saja beberapa “insiden” drama seperti ada kontestan yang
lupa lirik, tingkah juri yang terkadang konyol dalam memberikan opini atas
penampilan peserta, sampai ke soal salah kostum pun dikomentari ( padahal hal
teknis begini bisa “dipermak” sebelum peserta naik pentas ).
Tahun 2014 nanti RCTI akan menggelar kembali Indonesian Idol yang
mudah-mudahan bisa mematahkan “kutukan” bahwa sang pemenang justru kalah pamor
dengan runner-up ketika memasuki persaingan secara riil di blantika musik tanah
air. Dan kesan bahwa sang runner-up juga nggak terlalu kinclong prestasinya
dibandingkan dengan bakat yang ditemukan oleh label rekaman via “audisi” di
YouTube, he3... Khusus season depan, menarik untuk dicermati apakah acara
unggulan ini tidak disusupi oleh kepentingan politik tertentu.
Oh, ya di tengah meredupnya fenomena boyband/girlband racikan lokal – entah
itu karena jenuh, materinya tidak lagi nendang, maupun ada personelnya yang
memutuskan hengkang untuk bersolo karir – ada kiprah para jebolan acara bakat
bernuansa K-Pop tahun 2012 yang lumayan mencuat di pertengahan tahun 2013 ini,
yakni : S4 dan S.O.S. Jika menyimak hasil tempaan dan kerja keras mereka,
rasanya tak berlebihan dengan menyitir ungkapan khas Bebi Romeo bahwa : “Papa
bangga sama kamu” : )
# Media TV & radio
Acara musik pagi yang lumayan merajai beberapa tahun terakhir ini ternyata
(masih) tidak cocok diformulasikan untuk slot prime-time televisi di malam
hari. Lihat saja genre program layar kaca antara pukul 6 petang hingga 10
malam, rata-rata isinya sinetron, talkshow berita, atau varietyshow berbalut
komedi ( slapstick ). Adapun acara musik seperti Indonesian Idol, The X-Factor,
The Voice, Gebyar BCA, atau New AFI itu hanya program mingguan yang sifatnya
pun musiman, bukan reguler tiap hari ada di jam tayang utama.
Untuk pelanggan tv berbayar lumayan mendapatkan porsi tontonan musik yang
beragam, bisa dipilih antara : MTV, Channel [V], i-Concert, Trace, atau NatGeo
Music. Sedangkan untuk konten musik tanah air tergantung operator pay-tv yang
tersedia, misal : OrangeTV punya Dangdut Channel dan TopHits, Indovision
memiliki saluran in-house MNC Music Channel, dan grup FirstMedia punya MIX dan
Dangdut. Namun dari berbagai kanal lokal tersebut pun, penulis kira baru
sebatas saluran “tempelan” yang lebih mirip sebatas pemutar videoklip ketimbang
wadah tontonan apresiasi yang digarap serius.
Mayoritas stasiun radio pastinya masih menjadikan musik sebagai unggulan
program siarannya. Untuk pendengar di Jakarta, sepertinya dengan karakteristik
kaum urban maka kecenderungan beberapa pengelola radio mengubah format siaran
yang tadinya segmented kemudian memutar haluan menjadi “hits player” seperti
tidak terhindarkan. Secara pribadi bagi penulis sich yang demen ngupingin format
radio di era 80-90an dari pagi sampai malam, maaf : kemasan rata2 radio ibukota
sekarang jadinya membosankan !
Untunglah dengan adanya berbagai aplikasi radio streaming yang terpasang di
smartphone, pilihan penulis untuk mendapatkan rentang wawasan lagu yang lebih
variatif bisa terakomodir. Tinggal search di TuneIn, Xiaa Live, Pandora Radio,
atau Nux Radio, stasiun2 radio dari berbagai belahan nusantara hingga
mancanegara bisa dinikmati.
Pergeseran cara menyapa penikmat radio bukan lagi secara personal, tapi
lewat kontak status pesan di facebook atau live tweet. Beberapa announcer radio
tidak lagi menempatkan diri sebagai teman sharing pendengar, namun asyik ngobrol
dengan partner siarannya atau dengan celotehannya sendiri. Konten musik yang
bejibun tidak diimbangi dengan informasi menarik di balik pembuatan lagu yang
diputar itu sendiri, seakan menyebut judul dan nama penyanyi yang
mempopulerkannya dirasa cukup memadai, padahal info tentang siapa pencipta
lagunya, siapa yang mengaransemen lagunya, apa label rekamannya, dsb bisa jadi
bentuk pengelola radio dalam mengapresiasi karya musik.
Dari hasil diskusi dengan seorang founder radio online beberapa waktu lalu, penulis menyimak masa depan stasiun radio ibukota bukan lagi di Jakarta, namun di pelosok daerah yang potensi iklannya lebih menjanjikan. Maklumlah, melihat gejala gaya hidup yang ada sepertinya penduduk Jakarta dan sekitarnya bukan lagi warga yang suka “mendengarkan”, melainkan suka “melihat”. Yang disetel bukan lagi perangkat radio, namun menikmati puluhan saluran tv berlangganan yang tarif abodemennya kian terjangkau.
# Sekilas fenomena 2013
Fatin Shidqia Lubis. Gadis berusia belia ini cukup menghebohkan The
X-Factor Indonesia sejak tahapan audisi. Bahkan video cover version lagu
“Grenade” dipasang pula pada situs resmi Bruno Mars, penyanyi lagu aslinya.
Fenomena gerilya para Fatinistic membela idolanya ini tak kalah heboh di
jejaring sosial, terlebih saat penyanyi idolanya dicap sering lupa lirik dan
kualitas olah suaranya masih “mentah” saat live show. Namun mayoritas kritikan
itu seolah mereda dengan sendirinya saat lagu perdananya “Aku memilih setia”
dilepas ke berbagai stasiun radio dan berhasil memuncaki puluhan tangga lagu
dalam waktu relatif bersamaan.
25 Agustus 2013. Setelah 20 tahun tragedi konser Lebak Bulus, Metallica
datang kembali dengan membawa nostalgia masa muda para penggemarnya dengan
mengembalikan imej bahwa nonton konser rock metal tak perlu sampai anarkis dan
bikin rusuh khan. Bagi para penikmat musik cadas dan rata2 pengamat musik pasti
setuju bahwa ditengah serbuan acara manggung artis2 K-Pop, konser mereka di stadion
utama Gelora Bung Karno layak dinobatkan sebagai konser terbaik di tahun 2013,
bahkan ada yang berani menyebut penampilan mereka sebagai konser terbaik di
tanah air sepanjang 1 dekade terakhir ini. Wow ! ( NB: sayangnya AeroSmith
gagal mentas di Jakarta )
Sementara itu konser musisi dan grup band Indonesia sendiri beritanya masih
kurang menggembirakan. Disamping kabar bentrokan antar penggemar sendiri, pula
mental penonton yang maunya gratisan, kadang membuat suasana di sekitar
panggung menjadi kurang nyaman. Karcis sudah ludes, tapi mereka tetap memaksa
masuk tanpa bayar untuk menyaksikan musisi kesayangannya tampil.
Sempat ada kisah memprihatinkan tentang salahsatu musisi band yang disiram
air keras. Pula kontroversi kepantasan gratifikasi tentang pemberian gitar dari
personel Metallica kepada pakde Jokowi, gubernur DKI Jakarta. Noah dan Slank
dibuatkan film semi-dokumenter nich. Khusus
Slank yang “nggak ada matinya” itu, salam peace-love-unity-respect buat konser
perayaan ulang tahunnya yang ke-30 di GBK Senayan.
Setelah sukses menggelar acara ultah “X-Factor around the world” Agustus
2013 lalu, mungkinkah RCTI akan membuat program berkonsep serupa dengan tajuk
“Idols around the world” yang mempertemukan beberapa pemenang kontes serupa di
mancanegara dalam satu panggung ? Last but not least, jangan lupa setelah demam
tarian Gangnam style di tahun 2012, maka di tahun 2013 ada kehebohan “Harlem
shake”, yang sepertinya menularkan trend acara joget massal di layar kaca
belakangan ini.
# Merekam industri musik
Apa kabar industri musik rekaman nasional kita ? Berkaca dari ditutupnya
outlet Aquarius Mahakam, tampaknya memang recording label kita tak bisa
menghindari lagi untuk menempuh penjualan lagu secara digital. Mengharapkan
masyarakat dididik untuk membeli ( baca : mengunduh ) secara legal mungkin tidak bisa dalam waktu
singkat, tapi itu harus segera dimulai bila tak mau industri rekaman
berdarah-darah terus. Dengan akses internet yang kian cepat dan terjangkau,
seharusnya tidak ada kendala dalam jalur distribusi online, problemnya adalah
ketegasan (perangkat) hukum.
Sudah berulangkali ada seruan untuk memberantas pembajakan, namun masih
sebatas normatif di ucapan belum di tindakan, padahal aturan hukumnya sudah
ada. Pada akhirnya sebuah lagu bukan
lagi dianggap sebagai pencapaian seni yang mesti dihargai karya ciptanya, namun
tools pemasaran agar sang musisi mendapat panggilan manggung. Label rekaman
yang tadinya fokus sekedar memproduksi album, kini harus memasuki ranah
manajemen artis pula agar bisa survive.
Kita tidak lagi mendengar pencapaian prestasi seperti : oh si penyanyi A
atau grupband Z mendapatkan penghargaan multi platinum karena berhasil menjual
ratusan ribu hingga jutaan copy. Atau lagu si artis berhasil menduduki chart
radio2 bergengsi selama beberapa minggu. Tolok ukurnya berganti menjadi bahwa
tembang si artis sukses bertengger di peringkat papan atas RBT operator selular
tertentu. Btw, omong2 soal layanan RBT, cuplikan lagu hits apa yang pembaca
pasang belakangan ini di handphone sebagai nada dering ?
Kecenderungan yang penulis amati belakangan ini, beberapa label rekaman pun
kini merambah bisnis EO konser artis dan memproduksi film berikut soundtracknya.
Untuk mendukung line-businness baru ini, mereka memperkuat basis penggemar
dengan eksis berinteraksi di jejaring sosial sampai chat forum messenger.
Sesuatu yang mungkin dulunya hanya sebatas bikin fansclub, tapi kini adalah
memelihara pasar industri itu sendiri agar tidak tergerus oleh banjirnya para artis2
pendatang baru di kemudian hari.
# Label & artist management
Diantara duel SM*SH versus CherryBelle, ada Coboy Junior dan JKT48 yang
berhasil mencuri ceruk pasar boyband/girlband tanah air. Mengenai JKT48, kiprah
girlband yang bersaudara dengan AKB48 ini sukses merebut penghargaan Yahoo!
Indonesia sebagai sosok yang memiliki komunitas “die-hard fans” yang menggurita
dan luar biasa eksis. Lihat saja dengan jumlah personel grup mereka yang
lumayan terbilang “keroyokan” yang bagi sebagian orang membingungkan, tokh
justru menjadi sumber inspirasi buat dikomersilkan lewat penjualan buku profil
yang bisa didapatkan bagi para penggemarnya.
Bukan jualan kaset, tapi jualan merchandise. Inilah lahan pemasukan baru
yang sepertinya kurang diantisipasi oleh kebanyakan manajemen artis kita. Lihat
saja Agnes Monica yang terbilang piawai “menjual” namanya untuk dijadikan model
iklan berbagai produk sampai merilis varian parfum dengan brand-nya sendiri,
meski yach sori nich langkah awalnya untuk “go international”-nya dengan
membuat album di mancanegara tergolong kurang sukses.
Kecenderungan melakukan penjualan cd fisik lewat jaringan minimarket dan
restoran fastfood pun belakangan ini dapat dibilang tergolong stagnan. Selain
nyaris tanpa ada terobosan baru, cd fisik belakangan ini bukan prioritas
kebutuhan bagi pelanggan yang datang ke outlet mereka. Malah bisa jadi untuk
sebagian konsumen akan merasa bete kalau tiap berhadapan dengan kasir harus
menghadapi tawaran untuk membeli koleksi cd yang konten lagunya pun belum
pernah didengarnya. Namun tantangannya adalah dengan semakin bagusnya koneksi
internet, alunan lagu tidak lagi sebatas disimpan dalam format audio umum
seperti mp3, bahkan tampilan visual videoklip musisi yang tadinya dimaksudkan
sebagai materi promo di dunia maya pun kini bisa diunduh dengan mudah sebagai
koleksi. Sebuah dilema ?
Meski mungkin tidak terlalu vulgar terendus seperti lakon para artis
sinetron, tak bisa dipungkiri ada beberapa manajemen artis yang melancarkan
modus “settingan” untuk mendongkrak popularitas penyanyi dan/atau grupband
asuhannya dengan cara memunculkan kisah “kontroversial” supaya mendapat liputan
luas oleh awak media hiburan. Yang paling mudah tentu memanfaatkan polemik di
dunia maya supaya lekas menjadi trending topic, misalnya si penyanyi A punya
konflik dengan musisi B dan mengumbarnya di twitter. Bila tergolong “parah”,
siap2 saja pewarta infotainment akan dengan “senang hati” mengundang mereka
yang bertikai untuk tayang di slot programnya. Tapi tetap saja yang paling
mengena sebagai senjata ampuh agar sang musisi mendapat tempat di hati
penggemarnya adalah : karya2 lagu hits fenomenal mereka.
# Secercah prediksi 2014
Tahun 2014 kali ini diidentikkan dengan tahun pemilu nasional, tahun
pemberlakukan BPJS, tahun bola seiring Piala Dunia di Brazil, dan untuk
industri musik tanah air : inilah tahun kebangkitan musik dangdut ! Mengapa
penulis pakai tanda seru, karena kalau menurut salahsatu judul lagunya Project
Pop : dangdut is the music of my country. Yup, saatnya dangdut kembali menjadi
tuan rumah dan musik yang dihormati di negerinya sendiri. Syukur2, dangdut bisa
jadi komoditas ekspor industri kreatif unggulan selain sinetron2 yang kini
banyak tayang di beberapa negara tetangga, he3...
Tahun2 sebelumnya, ranah blantika tanah air dibanjiri oleh genre musik pop
melayu sampai boyband/girlband yang mengacu ke K-Pop. Menurut beberapa music
director yang penulis ajak sharing bilang bahwa ada peningkatan kiriman materi
lagu dangdut dari produser rekaman ke stasiun radionya akhir2 ini. Gejala kembalinya
dangdut bakal hapenning tersebut juga penulis rasakan saat menerima banyak artikel
press rilis untuk diunggah ke blog jelang tutup tahun 2013 ini.
Booming-nya lagu “Buka dikit joss” yang dilantunkan oleh Juwita Bahar
dengan gimmick demam joget yang “diaransemen” oleh Cesar @YuKeepSmile_TTV (
acara yang juga turut mengembalikan popularitas lagu lawasnya bang Rhoma Irama
: “Kata Pujangga” ), tak pelak ikut mengerek tembang hits dangdut lainnya yang
sudah bikin heboh di daerah2 untuk naik ke level nasional seperti : Kereta
malam ( Imelda ), Bang Jali ( Lynda Moymor ), dan Direject aja ( Jenita Janet ).
Jadi terkenang sekitar beberapa tahun lalu waktu, saat lagu2 dangdut seperti :
“SMS”, “Keong racun”, “Pacar lima langkah”, dan “Alamat palsu” menjadi best
seller di kancah bursa nada sambung : )
Prediksi bakal mewabahnya musik dangdut di tahun 2014 ini pun sepertinya
kian terdongkrak oleh banyaknya tim sukses para caleg yang akan memakai jasa
para penyanyi dangdut tersebut untuk mencairkan suasana kampanye lapangan,
mulai merekrut dari yang kelas elite hingga kasta organ tunggal. Numpang curhat
dikit : sebenarnya penulis kangen loch dengan genre dangdut konvensional yang
mengusung alunan suling dan gendang sebagai instrumen utamanya, bukan yang
di-remix koplo ( atau yang dipermak oleh house music ) seperti sekarang, he3...
Jadi apakah anda termasuk yang setuju kalau tahun 2014
adalah : the return of dangdut ? Siap digoyang ngebor, goyang ngecor, goyang gergaji,
goyang patah-patah, goyang iwak peyek, goyang itik, goyang oplosan, goyang yang
iya-iyalah, dan varian goyang2 lainnya ? Tarik mang ... : )
Memang sangat bermanfaat jika kita membaca di media seperti ini. Kapanpun setiap saat bisa mengakses dan tidak akan ketinggalan berita. Mari rajin membaca biar tambah pengetahuan kita.
BalasHapus