IIIHIMusiklopedia2012
HIMailinglist
: himtertainment-subscribe@yahoogroups.com
Industri vs apresiasi musik
Dulu ukuran kesuksesan seorang musisi bukan sebatas dihitung dari berapa
kali dia tampil di televisi atau berapa sering lagunya diputar oleh banyak
stasiun radio, namun sederhana sekali standarnya, yakni : berapa juta copy rekaman
kaset/cd album yang terjual. Ketika media bajakan seolah tak bisa diberangus
penyebarannya, sumber penghasilan industri musik kemudian beralih ke RBT maupun
konser keliling ke berbagai kota. File musik yang bertebaran di banyak situs
peer-to-peer di satu sisi memang menjadi media promosi ( ada seloroh bahwa
kalau ada lagu yang belum “dibajak”, artinya lagu tersebut dianggap gagal
mengangkat popularitas artisnya, halah... ), namun di sisi lain hal tersebut
tidak mendidik publik untuk menghargai karya musik yang telah dibuat dengan
susah payah.
Ketika penjualan lagu singel yang dijual lewat media online masih belum
digandrungi, cara yang ditempuh banyak label mupun artis belakangan ini adalah
dengan memanfaatkan jalur distribusi retail, seperti di jaringan restoran cepat
saji maupun minimarket. Toko kaset ? Hhhmmm... paling sebatas mencari
memorabilia atau memang pemburu koleksi merchandise si artis. Dulu ada
kebanggaan kalau bisa mengumpulkan cover album kaset, sekarang ?
Semenjak RBT, nada sambung, nada dering, atau apalah namanya mendapat
stempel buruk sebagai salahsatu sarana “penyedot” pulsa handphone, kabarnya
untuk tahun 2013 fitur VAS ( value added service ) ini akan digenjot lagi
dengan penyempurnaan aturan main yang tidak merugikan kenyamanan pengguna
selular.
Jadi teringat suatu topik perdebatan tentang apakah lagu2 yang masuk daftar
RBT terlaris bisa dianggap sebagai sampel yang menggambarkan selera musik
masyarakat ? Atau bisakah polling yang digelar stasiun tv dalam acara award2
musik itu menjadi cermin bahwa corak musik itulah yang menjadi favorit
kebanyakan orang ? Terlalu naif bila industri musik tidak memikirkan faktor
komersial, namun tantangannya adalah bagaimana menyelaraskannya dengan
idealisme sang musisi itu sendiri.
Major label vs indie label. Benturan kedua pihak ini sungguh menjadi issue
fenomenal yang mewarnai industri musik tanah air di era 90an, baik itu
dipandang dari segi jangkauan distribusi maupun adu kapital. Sempat ada stigma
negatif bahwa rata2 major label cuma berani bermain dalam tataran “mainstream”
yang ditafsirkan sebagai “pelayan” pasar musik, sedangkan musisi yang bermain
di indie label dianggap lebih prestisius karena kesannya masih idealis dan
secara komunitas lebih eksklusif ( baca : tidak pasaran ).
Kini polemik mengenai ukuran gengsi artis indie masuk major label tidak
begitu kencang lagi bergaung. Namun sebaliknya, bila ada musisi yang berani
hengkang dari major label yang selama ini menaunginya, nach rasanya pantas bila
dibuatkan catatan tersendiri. Ada beberapa alasan yang mirip dengan dalih
pegawai berhenti bekerja di suatu perusahaan, mulai dari : ingin merintis usaha
sendiri, karir mentok, atau merasa “dianaktirikan” karena harus berebut
perhatian dengan artis lain.
Memasuki era digital yang tak bisa dihindari lagi, kerjasama label dengan
berbagai pihak secara global tak bisa dipungkiri bisa menjadi jembatan guna
menjangkau pasar yang lebih luas. Semisal dengan situs YouTube sebagai media
promo (premiere) videoklip, via jaringan Google+ guna menghimpun fanbase yang
loyal, sampai lewat jualan singel di iTunes. Label kini “dipaksa” survive
dengan memanfaatkan channel pemasaran apapun yang bisa digarap.
Kiranya label lokal mesti bisa bersinergi dengan banyak promotor konser
yang belakangan ini tengah menjamur mendatangkan artis mancanegara. Kesuksesan
konser Noah yang berhasil mendatangkan massa penonton yang berani membayar
mahal untuk menyaksikan penampilan musisi kesayangannya tersebut bisa menjadi
pelajaran kemana label rekaman harus mengambil peran.
IIIHIMpersada2012 Top40 of the year - 1st singels
TV, radio, online
Di awal tahun 2013, bakal ada duel program kontes
bakat/musik yang sudah lebih dulu populer di program tv luar negeri, yakni The
X-Factor Indonesia ( bakal tayang di RCTI ) versus The Voice Indonesia ( segera
launching di Indosiar ). Dari beberapa pengalaman terakhir, anehnya para
pemenang dan alumnus jebolan acara beginian justru tidak mujur saat bertarung
di medan sesungguhnya. Sementara beberapa artis baru yang diorbitkan sebagian
label justru bisa melesat tanpa pakai acara menggeber polling sms segala. Maka
pesan penulis, sudahilah kontes2 via televisi yang memakai format voting dari
penonton.
Sementara di industri radio khususnya seputaran Jakarta, terpaksa penulis
harus bilang : membosankan ! Maaf, setidaknya begitulah kesan personal penulis
yang dalam beberapa tahun belakangan ini berusaha menikmati sebagian besar
siaran stasiun radio2 ibukota. Sudah lagu2 gresnya telat beredar dibanding
airplay kebanyakan radio daerah, frekuensi rotasi playlist dengan lagu sama
yang kelewat sering diputar membuat tembang menjadi cepat basi di telinga. Mau
menyalahkan MD-nya, sepertinya terlalu menyederhanakan masalah karena pasti
tersangkut dengan dalih : segmentasi dan karakteristik pendengar radio Jakarta
tidak sehomogen pendengar radio daerah.
Seperti yang pernah dibahas dalam edisi tahun lalu,
beruntunglah berbagai aplikasi radio streaming kini bisa diakses via smartphone
maupun tablet yang tentunya tidak terlalu menguras kuota internet ketimbang
dipakai untuk streaming video. Terlebih makin banyak area hotspot yang
menyediakan free-wifi, jadi sambil baca berita online sekalian dengerin radio
favorit tanpa batas kekuatan pemancar stasiun radionya, paling mentok yach
mesti siap dengan perangkat powerbank buat ketahanan baterenya dan kadang2
ngedumel juga kalo pas ada buffering, he3...
Khusus tahun 2012 ini, pilkada DKI Jakarta menghasilkan berbagai fenomena
unik, diantaranya memakai parodi lagu sebagai jingle kampanye. Beberapa musisi
ibukota juga sempat “ditarik” sebagai model iklannya, meski yach baru sebatas
vote-getter. Kemunculan Rhoma Irama bisa jadi perkecualian, karena meski
dianggap bukan “anggota tim sukses”, tetapi pengaruh pentolan grup Soneta ini
lumayan dominan. Sayangnya itu bukan karena pencapaian karya musik, namun
ucapan2 kontroversialnya. Btw, apa kabar dangdut yach ?
Bila di tahun 2011, serbuan K-Pop hanya sebatas di radio tertentu maupun
tayangan di saluran tv berbayar, lha sejak kwartal kedua tahun 2012 gelombang
musisi K-Pop begitu rajin menyambangi Jakarta untuk mengadakan konser. Masih
ingat konser SuJu alias Super Junior yang digelar 3 hari berturut-turut di
Ancol ? Atau pentas megah SM Town di Gelora Bung Karno yang diselenggarakan
tepat 2 hari setelah pemilukada DKI Jakarta ? Belum lagi ada boyband/girlband
papan atas dari Korea Selatan ini yang juga tak kalah heboh, ada : BigBang,
Wonder Girls, sampai 2PM. Yang belum datang tahun ini ke Jakarta, yach siapa
lagi kalau bukan sang “Gangnam style” : PSY !
Tak jemu dikutip, bahwa resep sukses K-Pop merambah musik
internasional adalah dukungan kuat dari pihak pemerintah dan kerja keras
industri kreatifnya. Dikemas secara komersial dengan metode pemasaran yang
menjangkau banyak negara, tak heran “virus” budaya mereka pun tak pelak
merengkuh kultur kita, diantaranya dengan bermunculannya judul2 lagu bernuasa
Korea ( saranghae, saranghamnida ) dan film dengan mengambil setting lokasi di
negeri ginseng tersebut.
Bila anda pelanggan tv berbayar, simak saja berapa jumlah
kanal yang khusus menayangkan program berbau Korea Selatan ? Sekedar menyebut
contoh, ada KBS, Arirang, S-One, dan Channel M. Saluran Fox International
seperti StarWorld dan channel [V] juga tak ketinggalan beberapa kali
menyelipkan acara yang mengintroduksi gelombang hallyu ini. Bahkan media musik
bonafid sekelas Billboard pun tak sungkan “bersusah payah” untuk membuatkan
chart K-Pop. Wah !
Yang menarik untuk dipelajari dari kesuksesan K-Pop ini
adalah profesionalitas tim manajemen artisnya. Mungkin disini mereka mematahkan
asumsi banyak orang bahwa kesuksesan itu bukan dilahirkan ( secara instan ),
tapi diciptakan. Lihat saja acara pencarian bakat semacam K-Pop StarHunt ( atau
Galaxy SuperStar yang pernah tayang di Indosiar ) yang digelar lintas negara.
Ketika para kandidat terpilih berhasil didapatkan, tidak seenaknya langsung
segera diorbitkan, namun ditempa dulu skill dan attitude-nya selama
berbulan-bulan. Lha disini, baru jadi penyanyi one hit wonder saja wuih kadang
udah merasa jumawa dan lupa diri.
The Concerts
Kalau ada ungkapan : dangdut is the music of my country, maka untuk pembuka
segmen artikel ini penulis plesetkan menjadi : Jakarta is the centre of music
concerts. Yup, kalau dulu warga Indonesia sering cemburu karena banyak musisi
kelas dunia yang ogah menyinggahi nusantara ini dengan alasan “travel warning”,
lha sekarang justru kebalikannya. Warga negara tetangga yang “terpaksa”
berbondong-bondong datang ke Jakarta buat bisa nonton konser musisi kelas dunia
favoritnya. Penasaran juga apakah potensi turis wisata musik ini sudah digarap
dengan baik, misalnya dengan menyediakan paket lanjutan wisata kuliner atau
wisata budaya.
Sayangnya, momentum yang baik tersebut sempat tercoreng ketika konser Lady
Gaga akhirnya batal digelar karena suasana yang dianggap tidak kondusif.
Ironisnya justru dari pihak aparat sendiri yang seolah tidak berani menjamin
keamanan, sebuah sinyal buruk tentunya meski itu hanya sesaat. Yang juga
menarik : entah karena bosan atau terlalu sering tampil di Jakarta, konser
musisi internasional di tahun 2012 ini pun mulai menyebar ke daerah di luar
ibukota. Yang cukup menarik adalah konser Sepultura yang berlangsung di
Kalimantan Timur dan bisa ditonton gratis. Wow !
Untuk urusan konser musisi luar negeri, dulu mungkin pemainnya hanya
seputar Java Musikindo-nya mas Adrie Subono dan Java Festival Production-nya om
Peter F Gontha, pokoke masih bisa dihitung jarilah. Beberapa tahun belakangan
ini, kondisinya mulai mirip para pengelola stasiun tv berebut hak siar tayangan
kompetisi bola luar negeri. Dengan jumlah EO yang relatif banyak, tak pelak
persaingan dalam mendapatkan artis pun kian ketat yang ujung-ujungnya berimbas
pada nilai kontrak yang mahal dan harga tiket yang sebetulnya tidak rasional
lagi ( contohnya : ada harga tiket yang setara atau bahkan lebih mahal
dibanding harga beli motor !!! ).
Oh, ya satu lagi. Yang juga masih menjadi keprihatinan para insan musik
tanah air, khususnya di Jakarta : kapan yach kita punya gedung pertunjukan
khusus musik kelas dunia ? Jadi yang dipakai buat konser, bukan yang tempat
peruntukan utamanya sebagai lokasi pameran, convention hall, atau stadion
olahraga.
IIIHIMbuzz2012 Top25 of the year - 2nd/3rd singels
The singer, not the song
Mungkin ini terkesan sinis, tetapi pemberian gelar bagi beberapa musisi
sebagai penyanyi terfavorit di beberapa ajang award televisi yang penulis lihat
belakangan ini bisa jadi jatuhnya kepada unsur popularitas ketimbang pencapaian
prestasi karyanya. Penghargaan bersifat “jebakan” ini mungkin bukan salah sang
artis, tetapi bila gejala ini kian berlangsung, jangan2 yang ada sebatas good looking di pentas layar kaca (
imbasnya pada rating ) dan bukan good
voice !
Sebagai contoh kasus, segitiga Syahrini – Anang – Ashanty misalnya, secara
karya bisa dibilang tidak ada yang menonjol dari mereka di tahun 2012 ini,
tetapi lihatlah mengapa Anang tetap dipertahankan sebagai juri “Indonesian
Idol” dan Syahrini didaulat sebagai salahsatu komentator dalam program
“Indonesia Mencari Bakat” TransTV.
Ada pula Ahmad Dhani yang cukup memberi kesegaran pada Indonesian Idol
tahun 2012 ini lewat celetukan uniknya dalam menanggapi performance kontestan
yang kerap disambar oleh tweeps sebagai trending topics di jagat maya.
Menarik pula mencermati beberapa produser televisi yang menggaet para artis
( lagi2 pertimbangan utamanya pasti karena rating dan punya fanbase yang
dianggap kuat ) untuk tampil yang kadang bukan untuk urusan nyanyi, tapi
program realityshow maupun sinetron. Sekedar menyebut contoh : SM*SH,
CherryBelle, Coboy Junior, dan Al El Dul yang seolah punya spesial slot
“gratis” buat para penggemarnya di layar kaca.
Yang lumayan menggairahkan di tahun 2012 ini adalah kembalinya Ariel
Peterpan, eh Ariel Noah ke kancah blantika musik tanah air. Mungkin mayoritas
dari kita nggak peduli apa penyebab dia dipenjara, pokoke para fans sudah nggak
sabar menantikan gebrakan bareng teman2-nya guna “menumbangkan” gelombang
boyband/girlband yang dalam 2 tahun belakangan ini terkesan mendominasi ( atau
membuat jenuh ? ) pasar musik nasional.
Kalau dalam pemasaran properti berlaku rumus : lokasi, lokasi, lokasi; maka
untuk jurus pemasaran bagi musisi tak lain tak bukan adalah : materi, materi,
materi. Kalau tahun lalu ada Budi Doremi yang bisa mencuri atensi penikmat
musik, tahun 2012 ini ada 2 lagu galau yang penulis rasa berhasil menerapkan
strategi “desa mengepung kota”, maksudnya adalah kedua lagu ini justru lebih
dulu sukses di berbagai airplay radio daerah, sebelum akhirnya masuk dalam
playlist radio2 ibukota. Cukup mengherankan memang, tapi seperti yang sering
penulis singgung dalam artikel HIMusiklopedia edisi tahun2 sebelumnya : ada
yang “salah” dengan karakteristik pendengar Jakarta ( simak ulasannya nanti di
episode 3 yang terbit 2 pekan lagi ).
Siapa yang kenal “Rumor” ? Kalau disebut judul lagu yang dibawakannya,
mungkin orang baru ngeh, yup siapa tak kenal lagu “Butiran debu” yang dalam
waktu kurang dari setahun di-recycle oleh Terry. Sayang, entah karena efek
branding nama musisinya, justru akhir2 ini soal hak cipta lagu tersebut tengah
bermasalah.
Mendekati akhir semester kedua tahun 2012, giliran tembang “Harus terpisah”
yang merajalela di angkasa ibukota. Seiring ngehitsnya lagu ini, tak pelak
mengundang banyak orang untuk tahu seperti apa sich profil penyanyinya, yakni
Cakra Khan, eits ini nggak ada hubungannya dengan Chaka Khan yang penyanyi
barat sono loch.
Ketika sebuah tembang melesat popularitasnya, seberapa banyak dari kita
yang peduli untuk mencari tahu siapa sosok pencipta lagunya ? Berbeda dengan
era 70-80an dimana pencipta lagu begitu dihormati karena dari merekalah lahir
lagu2 evergreen lewat suara penyanyi yang mereka “tunjuk” sendiri, namun ketika
masuk akhir era 90an hingga milenium ini justru terbalik. Rata2 penyanyi
sekarang ini maunya instan, kalau mau produksi lagu untuk dirilis bisa rikues
ala fastfood ke pencipta lagu, jadi yach sori hasilnya adalah banyak lagu
kacangan ( kalau disebut “sampah”, ntar ada yang ngambek, he3... ) yang cepat
membosankan di telinga. Pencipta lagu yang dulunya bak seorang chef restoran,
kini seolah turun derajat menjadi tukang masak catering yang bekerja sesuai
menu konsumen. Haduh.
Sudah terlalu sering program talentshow untuk pencarian bibit penyanyi,
baik via layar kaca maupun label rekaman. Saatnya ada kompetisi sekelas LCLR
Prambors gitu, ada media yang berminat mengadakannya di tahun 2013 nanti ?
IIIHIMusiklopedia2005-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar