IIIHIMusiklopedia2010
TV music
Boleh dibilang tahun 2010 ini masa paceklik program musik baru di layar kaca kita. Masih berkutat pada acara liveshow pagi dan sore hari, seperti : Inbox SCTV, Dahsyat RCTI, Derings TransTV, maupun Mantap ANTV. Lebih tepatnya belum ada gebrakan berarti yan cukup fenomenal. Demikian juga dengan daftar pengisi acara musiknya, kebanyakan masih yang itu-itu lagi. Bisa jadi karena acara tersebut ditayangkan harian, jadinya penampilan mereka tidak lagi tergolong istimewa. Paling musisinya datang ke studio, ngobrol2 bentar bareng prenster, lalu memulai aksi panggungnya guna keperluan promo singel terbaru ( yang katanya sich kebanyakan vokalisnya pakai teknik lip-synch, atas dasar urusan teknis ).
Fenomena @ll4y turut mewarnai wajah program musik kita. Dari gaya tangan bergulung, bersorak, sampai tarian rame2 sudah menjadi polah ciri khas mereka. Demikian juga dengan aksesoris dan pernak-pernik gaya berbusana yang mau ngikutin harajuku-style, tapi kok jatuhnya ke model ciri berpakaian ala para personel band pop melayu ?!
Omong2 soal band pop melayu ( meski penyematan kata aliran musik ”melayu” sempat diperdebatkan ), boleh dibilang cukup diberi ruang oleh program musik tv, ketimbang katakanlah band beraliran pop kreatif, jazzy, RnB, yang airplay-nya kencang di radio tapi malah melempem durasi penampilannya di layar kaca. Tak lupa mengenai acara kuis yang memasukkan instrumen pertanyaan soal musik seperti Missing Lyric dan Happy Song. Wah, acara favorit para penggila karaoke tuch. Tokh, lama kelamaan kok jadi membosankan juga yach ?!
Oh, ya sekedar usulan saja, mungkin kedepannya ada program tv yang mengupas soal resensi singel / album baru dengan tagline ”Behind the song”, mirip2 kiat promosi film yang kerap 1-2 minggu sebelum diputar via layar lebar, penonton dapat kesempatan cuplikan via ”behind the scene”. Sepertinya langka banget pekerja infotainment mau bersusahpayah menggarap tema review beginian, yang ada baru sebatas membuat artikel tentang konfrensi pers introduksi album baru atau menayangkan konser launching album paling gres dengan slot blocking-time.
In & out
Untuk yang in ( masuk ) tahun ini, tersebutlah nama Sandhy Sondoro yang merintis karir musiknya justru di dataran Eropa terlebih dahulu. Kemunculannya di pentas JavaJazz2009 lalu menjadi pintu pembuka kiprahnya masuk pergaulan dunia musik internasional. Gimana nggak, sampai2 pencipta lagu dunia semacam Diane Warren tertarik mengundang dia untuk tampil di acara tv Amerika Serikat. Bagi blantika musik tanah air, setidaknya menambah khasanah daftar penyanyi solo pria bersuara khas, disamping Afgan, Glenn Fredly, Vidi Aldiano, Glenn Fredly, Marcell, dst. Tak lupa yang tergolong “in” apalagi kalau bukan sosok Syahrini, yup bisa dibilang menggeser pamor Krisdayanti yang selama ini lekat dengan karakter seorang Anang Hermansyah, maksudnya bukan dari segi gosip kedekatan mereka, tetapi tentang kesesuaian nada (tune) mereka dalam membawakan lagu duet.
Yang out ( keluar ) untuk tahun ini adalah Shanty, loch ?! Yup, maksudnya setelah melaksanakan resepsi pernikahannya, tersiar kabar neng asal Sukabumi ini hendak gantung sarung tinju, eh gantung mikrofon demi pengabdiannya buat sang suami yang kin ditugaskan di Hongkong. Tapi tenang, boleh mundur dari dunia showbiz, tapi kabarnya tahun depan dia bakal merilis buku seputar pengalamannya di dunia entertainment selama ini dari zaman nge-VJ di MTV sampai pontang-panting bikin album. Juga untuk tahun depan, kiranya kita bakal kehilangan Afgan yang bakal melanjutkan tingkat pendidikannya terlebih dahulu. Moga sukses yach !
Gosip in sekaligus out yang mewarnai tahun 2010 ini apalagi kalau bukan rumor bakal hengkangnya Once dari Dewa19 yang boleh dibilang tahun ini relatif vakum. Dan yang makin bikin penasaran, apa benar Dhani Ahmad sedang menjajaki Ari Lasso untuk kembali menjadi vokalis grupband asal kota Surabaya ini ?
Btw, ditengah festival musik kelas dunia yang sudah mapan skedulnya seperti JavaJazz, Jakarta Jam, Java Rockin’Land, dan Soulnation, lha justru gelaran konser pesta musisi dalam negeri malah sedang mati suri. Yup, ada apa dengan Soundrenaline ?
Voice show
Redupnya popularitas Indonesian Idol sebagai ikon ajang pembuktian bagaimana seorang idola diciptakan secara instan oleh media layar kaca, bisa dilang sudah diprediksi penulis bahkan sebelum acara digelar. Masih dipakainya teknik penjurian dengan sistem polling sms sebanyak-banyaknya itu justru berdampak negatif bagi preferensi orang bahwa ajang tersebut adalah popular contest, bukan singing contest. Kapan yach ada kontest unjuk suara ala Asia Bagus ?
Tersebutlah program Indonesia Mencari Bakat yang mendobrak imej tersebut. Vote via sms memang masih dipakai tapi dikemas lebih soft oleh presenternya. Memang konten acara IMB ini lebih variatif, namun tampilnya penyanyi muda berbakat yang dianggap olah vokalnya lebih berkualitas ketimbang kontes nyanyi yang beneran, sungguh mengagetkan banyak kalangan. Indosiar pun buru2 mengemas acara Indonesian Got Talent dan RCTI memunculkan reinkarnasi Idola Cilik dengan tajuk : Aksi Anak Bangsa. Lalu berturut-turut muncullah variasi acara menyanyi lainnya dengan tambahan artistik koreografi ( yang terkesan dimirip-miripkan ala tampilan Glee ), seperti Suara Indonesia dan Voice of Indonesia. Aneh yach judul programnya, cuman hasil terjemahan gitu J
Nah, itu untuk yang pesertanya sendiri2 maupun paduan suara, sedangkan untuk kompetisi grupband2 pendatang baru ? Dulu di layar kaca ada yang namanya DreamBand, namun kini sepertinya ada 2 ajang off-air yang dijadikan acuan : A Mild Live Wanted dan La Light IndieFest. Yang tembus sampai putaran final biasanya ( meski sekelebatan ) berkesempatan juga diliput program tv loch. Para finalis juga nanti dibuatkan album kompilasi sebagai entry-point sebelum nantinya dibuatkan full albumnya. Itu yang versi jalur layar tv, sedangkan untuk jalur ngetop secara “karbitan” lainnya bakal penulis kupas di edisi pekan depan.
Labels
Menjamurnya banyak artis pendatang baru yang memborbardir pasar dengan berbagai singel tak terlepas dari peran label ”baru” yang bermunculan sepanjang tahun 2010 ini. Ada yang tampil seadanya, ada yang ”reborn”, bahkan ada yang langsung mengambil inisiatif untuk mensponsori acara secara gede-gedean. Berikut dibawah ini adalah beberapa contoh yang penulis amati.
Misalnya Nagaswara yang baru2 ini menggelar Nagaswara Music Awards sebagai bentuk apresiasi atas pencapaian prestasi para musisi yang berada dibawah naungan manajemennya. Bukan sesuatu hal yang asing lagi kalau jumlah artis yang ditanganinya sudah mencapai ratusan orang, Ada yang sukses dan ada pula yang jeblok, suatu hal yang lumrah, he3... Juga masih di tahun ini untuk memperkuat sisi pemasarannya, kanal media promo yang digunakan pun tak tanggung-tanggung, mulai dari divisi majalah ( Nagaswara Magazine ), radio ( NagaswaraFM Bogor ), dan televisi ( di TVRI ), sampai di beberapa screen-spot busway. Nagaswara yang dulunya mungkin dikenal sebagai perusahaan rekaman spesialis aliran musik tertentu, kini menjadi kekuatan baru yang patut diperhitungkan sepak terjangnya. Prestasi yang masih diingat penulis adalah ketika salahsatu lagu Wali yang juga diasuh Nagaswara berhasil dilirik orang asing untuk dibuatkan versi bahasa lainnya untuk pasar pendengar Eropa. Mantap !
Ada pula Falcon Music yang terangkat pamornya saat menjadi pendukung launching film Rhoma Irama dan Ridho Rhoma. Saat premiere filmnya pun digelar untuk menyasar segmen menengah keatas plus pengunjung yang datang dikasih handphone gratis yang berisi konten lagu2 Rhoma terbaru. Dan di pertengahan bulan Desember ini, Falcon pun menjadi salahsatu motor terselenggaranya ajang 1000bandsUnited yang berlokasi di Cibubur.
Keci Music. Di penghujung akhir tahun 2010 ini turut menjadi label pendukung soundtrack film ”Dalam mihrab cinta”. Namun yang menjadi perhatian banyak orang adalah ketika label yang satu ini bernai menggelontorkan duit yang begitu fantastis untuk mengerek Indah Dewi Pertiwi menjadi bahan perbincangan d industri musik tanah air.
Dari ketiga contoh diatas, bisa dilihat bahwa ruang gerak label tidak lagi melulu sebatas interaksinya dengan rekaman – distribusi – promo media. Ada pula yang kini merambah dalam mengurusi seputar RBT ( yang menurut penulis bakal menurun pamornya di tahun depan ), jadwal konser, sampai menjadi agen model iklan produk bagi musisinya. Materi lagu yang dulunya menjadi jualan utama, justru kini dianggap sebagai biaya pemasaran. Isu soal pembajakan tidak bergaung kencang seperti dahulu, lha materi lagunya malah kadang ada yang bisa ( malah disarankan ? ) gratis diunduh langsung dari internet, bahkan sebelum MD radio memasukan ke playlist. J
Music marketing
Baru-baru ini penulis mengunjungi sebuah toko kaset yang sebenarnya sih lebih dominan diisi oleh etalase CD dan DVD. Suasananya relatif sepi, paling pembeli yang datang pun sekedar yang ingin mengkoleksi album2 lama dalam format digital. Beda dengan yang penulis alami di era 80-90an, ketika saat itu videoklip dan chart lagu menjadi patokan kapan sebuah album baru dirilis dan mulai diburu penggemarnya.
Kini media pita kaset bergeser ke format digital yang bisa menyimpan banyak lagu. Tinggal colok di usb, ratusan lagu siap diputar. Bila di luar negeri kita mengenal iTunes, nach di pasar musik nasional kita mulai diperkenalkan pembelian lagu online secara legal lewat situs langitmusik. Modifikasi trik penjualan lainnya adalah jual konten mini album lewat bundling handphone. Setahu penulis, dengan sistem begini kebanyakan mengambil model jual putus alias tanpa adanya kewajiban sang provider handphone membayar royalti lagi, jadi yach dibayar per lagu dan fee sebagai brand ambassador doank.
Tokh, tidak semua orang sekarang ini memiliki player digital. Makanya untuk pemasaran di daerah, ada saja label yang tetap memproduksi kaset secara terbatas. Selain via jalur distribusi toko, tur konser, titip jual di jaringan pasar retail, sampai memanfaatkan mbak kasir di rumah makan yang sekaligus merangkap salesman materi fisik pun dilakoni, he3... Yang penting disini adalah saat menjual materi fisik, mestinya ada benefit tambahan bagi pembeli, baik dalam bentuk imbuhan pemberian merchandise langka maupun undian ketemu sang artis misalnya.
Dan yang juga penulis lihat menjadi trend belakangan ini adalah mendayagunakan media jejaring sosial sebagai alat promo yang relatif efisien, kalau efektif ? Nach, disinilah celah yang masih perlu dieksplorasi lagi oleh tim pemasaran label. Selama ini mereka baru sebatas baru mengajak para penggemar untuk gabung ke adres FB atau follow Twitter mereka, tapi belum sampai ke taraf mengelola komunitasnya dengan baik yang secara tak disadari, mereka bisa menjadi agen “word of mouth” yang mumpuni. Untuk soal ini, coba dech belajar caranya ke komunitas pengguna mobil.
Think ( and do ) online
Dasar kau keong racun / baru kenal udah ngajak tidur... Cuplikan lagu diatas mendadak populer pertama kali menembus kancah blantika musik tanah air, bukan karena cengkok dan notasi tembangnya, melainkan disebabkan aksi “tak sengaja” duo remaja bernama Sinta dan Jojo. Itupun bukan suara mereka, tapi sekedar lipsynch dengan atraksi visual yang menggemaskan banyak orang. Dan ternyata tampilan gimmick seperti itu disuka banyak orang dan menjadi perbincangan publik, tapi tokh mereka tahu diri untuk tidak memaksakan diri sebagai penyanyi.
Justru yang dkenal pecinta musik tanah air sebagai artis “pendatang baru” keluaran YouTube adalah trio Gamal, Audrey, & Cantika yang lagunya kini tengah wara-wiri di airplay radio. Juga kabarnya ada orang Indonesia yang tahun depan bakal rilis singel khusus pasar Amerika, gara2 ada produser musik mancanegara yang tertarik dengan kemampuan vokalnya saat bersenandung di YouTube. Tak lupa, masih ingat dengan orang bule ( kalau tak salah asal Perancis ) yang dengan pede-nya membawakan lagu berbahasa Indonesia karangannya sendiri dengan tampilan norak, he3...
Mengacu pada trend seperti ini, bisa dibilang punya lagu bagus perlu didongkrak dengan jalur promosi visual yang bagus untuk segmen yang sesuai karakter imej yang ingin dibangun. CV tentang daftar pengalaman mengisi acara di kafe2 elite seolah menjadi cerita usang. Dari hasil dengeran yang penulis dapat, beberapa label sepertinya tertarik pula untuk membangun divisi pembuatan videoklip, sebagai sinergi atas promo media dan manajemen artis. Sori sori sori jeck... harga produksi videoklip tidaklah murah, apalagi kalau menuntut ada konsep spesifik yang pernah-perniknya bikin ribet. Kalau yang mau gampang, yach “ditempelkan” saja sebagai soundtrack sinetron kejar tayang, tiap hari pasti diputer kalau sinetronnya nggak tamat2 atau ost-nya berganti tema.
Justin Bieber Effect. Yup, dengan semakin banyaknya operator yang mulai menawarkan akses internet kecepatan tinggi dengan harga relatif terjangkau, kesempatan untuk menarsiskan diri di jagat maya tampaknya bakal kian menjadi trend. Upload cukup sekali, lalu tinggal di-tag di berbagai situs jejaring sosial, maka siap2 dilirik produser. Tentu saja untuk masuk ke industri musik, modal suara bagus tidak lagi cukup, perlu juga materi yang cocok dengan pasar dan kemasan penampilan yang layak jual. Untuk contoh kasus ini, tengoklah fenomena lagu yang cukup “meracuni” tempat2 karaoke belakangan ini : cinta satu malam J
Eittss... tapi tunggu dulu, 2 contoh lagu diatas khan bolehlah tergolong fenomenal, tapi untuk dengaran penikmat radio seperti penulis ? Atau akankah para MD radio yang umumnya termasuk segmented berani memutarkan lagu2 dengen genre ( yang bagi sebagian orang dianggap cocok dengan jenis musik menengah kebawah yang sering dkatikan dengan stigma negatif : kurang berkualitas ) seperti itu ke dalam playlist-nya ?
Radio
More than just music. Yup, demikian tagline TrijayaFM yang memposisikan dirinya sebagai stasiun radio para professional muda. Konten radio saat ini memang tidak hanya soal musik, namun harus diakui dengan “keterbatasan” media radio yang mengandalkan kekuatan audio, musik tetaplah unsur nomor satu dalam menjalin komunikasi dengan pendengarnya, meski ada selingan talkshow, news, bahkan sampai drama radio. Dan yang juga membuat unik adalah satu lagu yang sama bisa dipersepsikan berbeda bila diputar oleh stasiun radio yang berbeda.
Bila di edisi tahun lalu, penulis mengangkat tema seputar “mengapa radio2 Jakarta lebih lambat trend airplay-nya ketimbang radio2 daerah”, maka kali ini berdasarkan hasil interviu beberapa pemerhati radio, penulis tertarik membahas ekspansi radio kedepannya bakal seperti apa. Berkaca pada gerak bisnis label yang kini tak lagi sekedar mengurus promo album musisi berikut penjualan rekaman, namun juga mengkombinasikannya dengan usaha RBT, manajemen artis, blocking media, sampai ke penjualan hak cipta untuk pihak luar negeri, radio pun sebenarnya tidak melulu sebatas menjadi saluran pemutar lagu semata.
Menurut pendengaran penulis, yang tengah menjadi gejala umum di radio2 Jakarta ini adalah kecenderungan mengekor pada konsep “hits player”, saling menunggu antar radio2 lain kira2 lagu apa yang bakal ngehits. Dulu di era 90an dengan menjamurnya band2 indie, justru banyak radio yang “meluangkan” waktunya untuk menjadi yang paling duluan untuk mengerek lagu menjadi hits. Entah karena MD-nya terlalu sibuk atau kebanyakan materi, sehingga proses seleksi itu akhirnya diserahkan pada pasar, antara lain tergantung lagu apa yang disodorkan oleh tim promo label maupun peringkat RBT. Akhirnya, jangan salah kalau ada stigma bahwa independensi radio2 ibukota tidak lagi berpihak pada mutu dan segmen pendegarnya, tetapi pada tekanan industri musik yang seolah tidak kelihatan namun terasa cengkeramannya.
Seiring penjualan gadget canggih yang mengakomodasi operator selular untuk lebih berlari menyediakan koneksi internet yang makin cepat, maka jangkauan radio2 tidak lagi berkutat terbatas di kota mana stasiun tersebut bersiaran. Sebagai contoh, sambil mencari2 berita di jagat maya, penulis pun memperlengkapi hiburan dengan mendengarkan radio2 luar Jakarta secara online, diantaranya : NagaswaraFM Bogor, dan 3 radio Bandung ( MGTFM101.1, RaseFM102.3, dan ArdanFM105.9 ). Dengan kecepatan maksimum 512 kbps, meski hasil streaming kadang tidak mulus, namun dari situ kita dapat melihat kompetisi radio tidak lagi dibatasi oleh sekat daerah. Tim promo label pun masih melihat kekuatan potensi radio ini yang lebih cepat penetrasinya dalam melihat trend musik apa yang digemari, beda dengan katakanlah acara musik di televisi yang lebih dominan unsur komersialnya. Radio masih menjadi tolok ukur asal diberdayakan dengan tepat. Adanya rumor negative yang menyatakan bahwa beberapa susunan peringkat chart mingguan bisa dibeli label untuk mendongkrak popularitas sebuah lagu harus menjadi cermin berbagai jaringan radio untuk bisa survive menampilkan identitasnya ditengah kemungkinan “intimidasi” perangkat industri musik tertentu yang memakai cara2 yang tidak beretika.
Awards
Bagaimana menghargai pencapaian prestasi musisi dalam kurun waktu tertentu ? Dari tayangan impor, kita bisa mengambil contoh betapa bervariasinya jenis penghargaan yang mereka gelar, mulai dari : Grammy Awards, American Music Awards, sampai MTV Music Awards. Lha, dalam lingkup lokal kita ? Yang masih eksis sekarang, paling hanya AMI Awards dan MTV Indonesia Music Awards. Oh, ya tak lupa ada juga ajang yang diselenggarakan menurut versi stasiun tv, seperti : RCTI Dahsyat Awards dan SCTV Music Awards. 10-20 tahun yang lalu kita punya banyak acara semacam itu mulai dari yang berdasarkan kategori pita kaset ( BASF Awards dan HDX Awards ), kategori videoklip ( VMI ), kategori airplay dan kompilasi chart ( Clear Top10 ).
Di penghujung bulan Desember 2010 ini setidaknya ada dua ajang awards yang dikelola dengan pendekatan yang berbeda. Tersebutlah Nagaswara Awards yang memberi penghargaan atas pencapaian prestasi para musisi yang bernaung di label tersebut. Juga penghargaan untuk 50 penyanyi yang dianggap sebagai “the greatest singers” versi majalah Rolling Stone Indonesia. Diluar itu, apresiasi banyak digelar dalam bentuk konser solo, entah itu sebagai bukti dedikasi kiprahnya dalam karir musik maupun berbarengan dengan launching album baru.
Catatan penulis mengenai berbagai awards disini adalah adanya jarak antara penilaian “bagus” menurut dewan juri dengan ekspetasi masyarakat. Benturan antara yang “terbaik” versus “terfavorit” menjadi ukuran yang kerap diperdebatkan. Belum lagi ke soal pengkategorian lagu2 yang juga tak luput menuai kontroversi. Disamping itu dengan tampilnya beberapa musisi tertentu yang sering menjadi langganan nominasi menyisakan pertanyaan : sebegitukah minimnyakah artis yang dianggap "bermutu" ?