Anakmu bukan anakmu. Demikianlah kalimat bijak yang kalau tak salah diucapkan oleh sang pujangga Khalil GIbran. Dalam adat istiadat atau norma agama, posisi anak sering juga dianggap sebagai titipan Tuhan yang diberikan kepada keluarga untuk dijaga dan dirawat. Dibesarkan dalam suatu keteladanan.
Saat cek gambar beberapa rekan yang udah gabung di list FS penulis, ternyata banyak juga yang sudah pasang gambar berdua ( artinya bisa macam-macam, sudah punya pacar atau sudah kawin ), masih sendiri ( entah jomblo atau emang lagi ngincer sohib di jaringan FS-nya ), atau mencantumkan foto bayinya ( huff… akhirnya “jagoan” gue lahir, he he… )
Omong2 soal pose sang ayah baru dengan bayinya ini, tentu maksudnya untuk “mereportasekan” kabar update soal bertambahnya lagi anggota keluarganya. Dan seperti yang sudah ditulis dalam edisi sebelumnya, anak yang terlahir normal patutlah disyukuri dan dibanggakan. Artinya Tuhan sudah memberi kepercayaan kepada mereka untuk merawat sebuah kehidupan di muka bumi ini.
Dan salahsatu jenis “perawatan” tersebut adalah melalui jalur pendidikan. Saat penulis masih kecil, belum ada tuch yang namanya kelas playgroup. Namun sekarang lihatlah, begitu menjamurnya lembaga pendidikan yang menerima siswa balita yang untuk berbicara pun masih sulit, eh dijejali dengan konsep edukasi bilingual segala. Katanya biar si anak sudah dipersiapkan dari awal agar bisa siap bersaing di era “go international” ini. Maka berduyun-duyunlah para ortu, terutama sang ibu yang ingin anaknya sukses mendaftarkan balitanya untuk “diprogram” jadi orang sukses sejak usia dini ini, sementara sang ayah hanya bisa geleng2 kepala melihat tariff pendidikan sang anak yang rata2 relatif mahal untuk memenuhi kebutuhan edukasi tersebut. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar